SPASIKALTIM.COM – Kasus dugaan penganiayaan terhadap anak di bawah umur kembali mencoreng wajah penegakan hukum di Kabupaten Luwu. Seorang remaja 16 tahun meninggal dunia setelah diduga dianiaya oleh Irwan Sultan, Kepala Desa Seppong, Kecamatan Belopa Utara, saat berada di RS Batara Guru pada 28 Mei 2025.
Meski status tersangka telah disematkan, hingga kini polisi belum melakukan penahanan. Kondisi ini membuat keluarga korban semakin berteriak menuntut keadilan.
Berdasarkan laporan polisi nomor LP/B/167/V/2025/SPKT/POLRES LUWU/POLDA SULSEL tertanggal 31 Mei 2025, serta SP2HP nomor B/179 A.1.1/VI/2025/Reskrim, penyidik telah memproses laporan. Namun, lambannya tindak lanjut membuat publik bertanya-tanya.
Ayah korban, Ruslan, mengungkap luka parah yang dialami anaknya sebelum menghembuskan napas terakhir.
“Di tubuh anak saya ada lebam di bahu kiri dan kanan. Pertanyaannya, apa motif seorang kepala desa datang ke rumah sakit hanya untuk mencari anak saya yang sedang terkapar di IGD? Apakah memang sudah ada niat untuk membunuh?” ujarnya dengan nada geram, (20/8/25).
Perbuatan tersebut jelas masuk kategori tindak pidana kekerasan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 80 Ayat (3) jo Pasal 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya bisa mencapai 15 tahun penjara, bahkan seumur hidup atau hukuman mati jika korban meninggal dunia. Pasal 351 Ayat (3) KUHP juga mempertegas sanksi bagi pelaku penganiayaan yang menyebabkan kematian.
Aktivis pemerhati sosial, Jupe, turut mengecam lambannya aparat dalam menangani kasus ini.
“Kalau benar ini dilakukan seorang kepala desa, maka polisi tidak boleh ragu. Tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” tegasnya, (22/8/25).
Ia juga menyoroti pasifnya peran UPTD Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Luwu yang dinilai tidak mendampingi keluarga korban.
“DP3A seharusnya paling depan mendampingi. Tapi faktanya, diam seribu bahasa. Ini kelalaian fatal,” tambahnya.
Lebih jauh, Jupe mengingatkan bahwa hukum jangan hanya bergerak setelah sebuah kasus viral di publik.
“Fenomena ‘No Viral, No Justice’ nyata terjadi. Padahal tanpa publikasi pun, aparat wajib menegakkan hukum demi keadilan korban,” pungkasnya.
Kasus ini kini menjadi sorotan luas. Publik menanti langkah nyata Polres Luwu dalam membuktikan komitmennya menegakkan hukum, meski pelaku diduga seorang pejabat desa.
Hingga berita ini diterbitkan, Kanit Reskrim Polres Luwu belum memberikan klarifikasi resmi meskipun telah dihubungi awak media. (*)